2016年10月6日木曜日

Belajar Dari Maya Nakanishi, Atlet Jepang Yang Luar biasa


maya-nakanishi-1

BELAJAR DARI MAYA NAKANISHI, ATLET JEPANG YANG LUAR BIASA

Paralympic atau Paralimpiade, olimpiade bagi atlet penyandang disabilitas memang telah berakhir. Diselenggarakan sesudah Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro, Brazilia. Kegiatan Paralympic ini dimulai dari tanggal 7 September hingga 18 September 2016. Gebyar kemeriahan dan hiruk piruk pertandingan memang sudah selesai. Ada banyak hal menarik yang bisa di amati dari kegiatan Paralympic.

Slogan "Yes, I Can" (Ya, saya bisa), santer dikumandangkan di sudut-sudut kota Rio de Janeiro. Atau juga, "We're the superhuman!" Kami adalah manusia super! Sejatinya memang atlet penyandang disabilitas adalah manusia super. Bayangkan saja, manusia biasa saja belum tentu mampu melakukannya tetapi para atlet penyandang disabilitas justru dengan segala kekurangan bagian tubuhnya mampu meraih prestasi olahraga yang luar biasa. Semangat juangnya sungguh luar biasa!

Satu atlet penyandang disabilitas dari negara Jepang yang cukup populer adalah Maya Nakanishi. Wajahnya cantik, postur tubuhnya pun menyiratkan kepercayaan diri yang tinggi. Tak terlihat sama sekali bahwa Maya Nakanishi adalah seorang penyandang disabilitas. Postur tubuh 158 cm termasuk umum di kalangan masyarakat Jepang, tak terlalu tinggi tetapi yang menakjubkan adalah prestasi yang mampu diraih seorang disabilitas.

Atlet kelahiran 6 Maret 1985 ini mulanya adalah seorang atlet soft tenis yang cukup mumpuni. Tetapi malang tak dapat ditolak. Tahun 2006 ia mengalami kecelakaan yang parah, yang berakibat kaki kanannya harus diamputasi demi menyelamatkan jiwanya. Sejak itulah Maya Nakanishi berubah seluruh ritme kehidupannya, menjadi seorang penyandang disabilitas.

Perjuangannya untuk kembali menjadi seorang Maya Nakanishi yang "normal" tentu saja tak mudah. Dari seorang yang lincah lari kesana kemari, tiba-tiba harus kehilangan bagian tubuh, kaki kanan. Tak lama larut dalam kesedihannya, Maya Nakanishi berjuang kembali meraih impiannya. Kemauannya yang kuat untuk bangkit itulah yang menjadikan Maya Nakanishi mampu menjadi atlet penyandang disabitas yang hebat seperti sekarang.

Sprinter asal Negeri Sakura ini, tahu apa yang ingin dicapainya dan untuk mencapai impiannya. Ia tidak segan untuk bekerja keras mewujudkannya. Satu pesan darinya, "Meskipun tidak punya kaki, tetaplah berlari meraih impian, kawan!"

Saat ini Maya Nakanishi semakin mantap dalam debutnya, lari 100 m, 200 m, dan lompat jauh. Bayangkan seorang penyandang disabilitas mampu melakukan hal-hal yang dilakukan manusia normal lainnya. Belum tentu juga orang normal mampu melakukannya, mencapai rekor tercepat dalam lari 100 m, 200 m dan lompat jauh. Anda lihat penampilan Maya Nakanishi dan pasti akan kagum melihat kemampuannya memanage kekurangan bagian tubuhnya menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa. Sosok inspiratif yang pantas untuk diacungi jempol!

Sosok Maya Nakanishi ini pastinya adalah satu sosok yang tahu bagaimana untuk sukses dalam kehidupannya. Impiannya adalah meraih medali emas untuk Paralympic Tokyo 2020. Dan demi impiannya itulah Maya Nakanishi rela berlatih dengan keras.

"Hukum sukses yang paling sederhana adalah tahu apa yang kita mau dan berjuang dengan sepenuh hati. Kalau gagal, bangkit dan berjuang lagi! Maka sukses besar pasti menanti. (Andrie Wongso)

Salam luar biasa,

Hani Yamashita - Jepang

Ps: Telah dimuat AndrieWongso.com  pada tgl 4 Oktober 2016

      

2016年10月1日土曜日

Boleh Miskin Harta Tapi Tidak Boleh Miskin Mental!

Boleh Miskin Harta Tapi Tidak Boleh Miskin Mental!

ogawa-san

Ohayou gozaimasu. Selamat pagi", sapaku saat melihatnya berada tepat di depan pintu utama toko. Seorang wanita tua. 

Senyum mengembang di wajah keriputnya. Sudah lebih dari separuh abad usianya. Penampilannya amat sangat biasa. Tidak lusuh, biasa saja, tidak bermerek tapi bersih. Sering sekali ke toko, mencari aneka barang. Saking akrabnya bahkan menjadi "pelanggan istimewa" yang sering sekali membawa buah tangan hasil kebunnya. Tangan seorang pekerja keras, kasar, dan tidak mengenal hand body lotion.

Sebut saja namanya, Ogawa-san. Sejak awal mengenalnya, ada banyak pertanyaan yang berkecamuk di benakku. Bukan usil atau ingin tahu urusan orang lain, hanya berusaha memahami karakter pelanggan saja. Menjalin keakraban saja. Kalau istilah zaman kekinian adalah memperluas networking, jaringan kerja. Seiring dengan berjalannya waktu, keakraban terjalin dan kami sudah layaknya teman.

Ogawa-san, ibu Ogawa ini seorang pekerja keras. Memiliki kebun yang luas dan sangat hemat. Bukan pelit, tapi hemat dalam memperhitungkan pengeluaran uangnya. Di Jepang, tipe manusia hemat sangat lumrah karena memang biaya hidup di Jepang mahal. Ibarat kata, satu yen juga dihitung karena memang hidup mereka keras dan uang tersebut halal dari kerja keras mereka. Alhasil, mereka sangat perhitungan dan sangat rinci dalam mempergunakan uang hasil kerja kerasnya. Tidak buang uang dengan mudah.

Masa mudanya diisi dengan bekerja keras. Membantu suami menambah penghasilan demi masa depan anak-anaknya. Hidupnya diabdikan untuk keluarga kecilnya. Di kala usia senja, Ogawa-san masih terlihat sehat dan ceria setiap saat.

"Hidup itu harus optimis. Banyak kendala, itu namanya orang hidup. Perjuangkan dan cari solusinya. Kalau hanya menangis, mengeluh.. setiap orang juga bisa. Boleh saja menangis, mengeluh tetapi setelahnya harus segera bangkit dan segera cari solusi," itulah salah satu kata-katanya yang seringkali diucapkannya.

Satu kali dalam kehidupannya yang keras pun ia pernah mengalami masa-masa sulit. Suami sakit keras dan anak-anak masih kecil, butuh biaya hidup yang tak sedikit. Pada masa itu, Ogawa-san "mengambil alih" tugas dan peran sebagai bapak dan pencari nafkah bagi keluarga kecilnya. Ogawa-san melakukan 3 shift pekerjaan part-time dalam sehari. Tidur hanya saat dalam perjalanan menuju ke tempat bekerja. Di Jepang, memang lumrah dobel pekerjaan part-time. Malam hari, di kala orang tidur dengan nyenyak, Ogawa-san justru harus bekerja keras di sebuah mini market. Pekerjaan yang dilakukan memang tidak menghasilkan banyak uang tetapi cukup untuk menghidupi keluarga kecilnya. Hal itu dijalaninya cukup lama, lebih dari 5 tahun. Beruntung, suaminya perlahan pulih dan bisa bekerja kembali. Tidak full time, tetapi kesehatan suami yang pulih sudah sangat membantu dalam mengatasi beban hidup.

"Masa itu, aku tidak sempat menangis lagi. Air mataku sudah kering. Mengeluh, menangis pun tak ada gunanya. Apa yang bisa kukerjakan demi kelangsungan kehidupan keluargaku, hanya itu yang ada di dalam benakku. Tak terbersit dalam benakku untuk melakukan hal konyol, bunuh diri. Kami harus menghadapi kenyataan yang ada di depan mata dan segera cari solusinya agar anak-anak bisa melanjutkan hidup," ujarnya dengan nada pelan. Sejenak Ogawa-san menghapus air mata yang mengembang di kelopak mata, mengingat kembali perjalanan hidupnya. Segera aku bangkit dan menyodorkan secarik tisu untuknya. Menenangkannya dan membiarkan Ogawa-san meluapkan emosinya. Aku menunggu hingga ia tenang kembali. Mendengarkan, juga sudah membantunya. Ah, perjalanan hidup anak manusia memang beraneka ragam, selalu ada satu masa sulit yang harus dilalui.

Dari Ogawa-san, ada banyak yang bisa di pelajari. Semangat hidupnya yang luar biasa. pandangan hidupnya yang selalu positif, optimis, berani menghadapi kenyataan pahit, kaya mental. "Boleh miskin harta tapi tidak boleh miskin mental," seperti yang diungkapkan, Andrie Wongso, bapak motivator kita di Indonesia. Ternyata Ogawa-san memang kaya mental! Manusia yang luar biasa, patut diacungi jempol.

"Berani menghadapi kenyataan adalah cara efektif untuk membuang kekhawatiran karena kecemasan tidak datang dari luar, tetapi dari dalam diri kita." (Andrie Wongso)

Salam luar biasa, 
Hani Yamashita - Jepang
_______________________
*) foto adalah ilustrasi

Ps: Telah di muat di Andrie Wongso.com, 22 September 2016
http://www.andriewongso.com/boleh-miskin-harta-tapi-tidak-boleh-miskin-mental/

Catatan Kecil: “Mental Tangguh dan Dewasa”

writing-note-1

Suasana dalam gerbong kereta sebenarnya cukup lenggang. Tidak penuh sekali layaknya hari biasa. Tapi memang posisiku berdiri dalam gerbong kereta mungkin termasuk favorit. Terbukti, satu demi satu orang mendekat di sampingku. Ada yg di depan, ada yg di samping dan juga ada yg di belakangku.

"Apes dah, hari ini kejepit. Kanan kiri tidak bisa gerak. Apa boleh buat, sabar-sabar dikit. Mungkin pemberhentian stasiun berikutnya bisa sedikit leluasa atau cari tempat duduk," gumamku dalam hati.
Seorang pria usia sekitar 20 tahunan membuatku terkesima. Mulanya tidak menarik perhatianku. Kupikir dia bicara dengan teman atau handphone. Ternyata bicara seorang diri. Memang, ada juga orang Jepang yang kutemui kadang kebiasaan ngomong sendiri. Tak masalah. Jadi aku pun diam, masa bodoh asal tidak "berurusan". Sembari diam, terdengar juga gumanannya. Bahasa Jepang, jadilah aku tetap paham inti dari ocehannya. Hanya tentang pertandingan softball. Ada sedikit rasa lega. "Waras nih orang, jadi aku tidak ambil pusing. Monggo, silakan nyerocos".

Makin lama aku semakin "tidak nyaman" dengar gumamannya. "Lha kok kayak orang curhat ya?" Pandangan mata pemuda ini juga kosong. "Cilaka 12, ini cowok kayaknya rada bermasalah jiwanya. Harus cari akal supaya aku bisa duduk sekaligus menghindar dari orang ini." Beruntung, pemberhentian berikutnya, serombongan penumpangan turun.

Pucuk dicinta ulam tiba, segera aku bergegas menuju tempat duduk. Eh, si pemuda ikut juga, bahkan ikut duduk pas di sampingku. Aduh, aku terpaksa mendengarkan gumamannya minimal hingga stasiun berikutnya. Makin lama, saya tertarik juga dengar keluh kesahnya.

Intinya, si pemuda stres karena tidak terpilih sebagai anggota tim softball. Dirinya merasa mampu, tapi kenapa tidak dipilih. Ia menyalahkan temannya karena teman curang dan selalu cari muka di depan pelatih. Akhirnya dalam pertandingan tetap kalah. Si pemuda tidak terima dengan kekalahan pertandingan dan tidak bisa terima bahwa bukan dirinya yang jadi pemain dalam pertandingan softball tersebut.
9378026
"Cepatlah sampai atau minimal ada kesempatan kabur dari situasi seperti ini. Kok bisa aku diikuti terus oleh pemuda ini? Orang begini banyak, malah aku yang diikuti. Mimpi apa aku semalam," kataku dalam hati. Mau berdiri pun, di depan juga ada orang. Apalagi jalan kaki, jelas tidak bisa.
Situasi berubah. Pemberhentian berikutnya, gerbong cukup lapang. Cukup banyak penumpang yang turun. Segera aku beranjak dan "kabur" ke kursi yang cukup jauh. Pokoknya menjauh sejauh mungkin dari si pemuda. Eh, nggak salah tuh penglihatanku? Itu pemuda masih ikut-ikutan juga. Dia juga ikut beranjak dari kursi dan gilanya malah berdiri cukup dekat dengan posisiku. Alamak, aku harus mendengarkannya lagi! " Sudahlah, biarkan saja, mungkin si pemuda butuh pendengar untuk keluh kesahnya".


Akhirnya, kuputuskan untuk duduk diam dan mendengarkan keluh kesahnya. Si pemuda "ngomel" ngoceh tak karuan, aku tetap diam tak bereaksi apapun hingga pemberhentian stasiun yang jadi tujuanku. Saat aku turun, si pemuda tetap berada dalam gerbong dan tetap meneruskan ocehannya. Lebih kurang, waktu 40 menit kulewatkan satu gerbong bersama pemuda malang ini.

Sembari melangkah turun menanti kedatangan kereta berikutnya, aku berpikir dan merenung. "Alangkah malang nasib si pemuda. Di saat masa indah yang harus dinikmati dengan penuh keceriaan dan semangat, si pemuda justru terpuruk dalam keputusasaan. Semoga saja ia bisa bangkit dan kembali melanjutkan kehidupannya dengan lebih baik."

Situasi yang dialami si pemuda pas dengan quote dari Andrie Wongso, motivator kita di Indonesia.
"Saat kita sendirian dalam ketakutan, tidak ada orang yang mendampingi, kita akan belajar apa itu keberanian."

"Saat terpuruk dan menderita, orang lain tidak mau tahu, kita akan belajar apa itu ketegaran."
"Saat kita gagal dan posisi berada di bawah, kawan-kawan malah pergi menjauh, kita belajar lebih keras pada diri sendiri."
"Semua cobaan, tekanan dan penderitaan sejatinya adalah sebuah proses kritalisasi menuju mental yang tangguh dan dewasa, sebagai modal kita berjuang lagi, meraih hidup dan sukses yang lebih berkualitas dan bermartabat."

Salam luar biasa, 
Hani Yamashita - Jepang

Ps: Telah di muat di Andrie Wongso.com, 8 September 2016
http://www.andriewongso.com/catatan-kecil-mental-tangguh-dan-dewasa/

Anak Jepang Mandiri Sejak Dini

Japan-School-kids

Bulan Juni-Juli memang saatnya musim hujan di Jepang. Tiada hari tanpa hujan dan mendung. Pagi hari pun ada banyak anak-anak bersekolah, berjalan kaki, Kalau jauh biasa naik sepeda atau kereta lokal. Di hari hujan lebat pun tetap sama. Tak ada alasan untuk terlambat karena hujan. Dari kecil memang anak-anak Jepang dididik untuk mandiri. Hanya anak-anak TK yang biasanya masih diantar jemput orang tua atau ada fasilitas bis. Sedangkan anak-anak mulai dari SD biasa sudah dilepas mandiri, berjalan sendiri menuju sekolah.

Saat hujan pun, payung-payung kecil berurutan, berjalan kaki menuju sekolah masing-masing. Memang Jepang terjamin keamanannya dan relatif rendah tingkat kejahatannya. Menariknya, satu kejadian dimana salah satu peserta jatuh karena jalanan memang licin. Spontan ketua grup langsung berhenti dan membantu peserta yang jatuh. Ada yang membantu menggantikan membawa tas ranselnya. Si anak cukup tangguh juga mentalnya, tidak menangis. Dari arah seberang jalan, saya mengamati, ternyata grup ini kompak sekali dan saling bantu. Rasanya ikut lega.

Memang harus diakui, Jepang itu didikannya keras. Membiasakan anak untuk mandiri secara dini. Anak-anak dibiasakan pergi ke sekolah berjalan kaki dan tanpa diantar orang tua. Tidak ada istilah diantar. Kesannya memang kejam, tetapi di balik itu semua sebenarnya ada banyak kelebihannya. Membiasakan anak secara dini untuk kuat mentalnya, tanggung jawab dan mandiri.

Saat anak-anak masih kecil, kadang tidak tega juga melihatnya. Tapi seiring dengan waktu, anak justru semakin percaya diri bahwa dirinya mampu untuk mandiri dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri. Ungkapan yang sering diucapkan untuk menepis rasa kekhawatiran adalah "Kawaii ko ni ha tabi wo saseyo". Mari antar anak-anak menuju satu perjalanan. Makna yang tersirat adalah, orang tua harus memberikan kesempatan kepada anak untuk mandiri, belajar untuk mengurus diri sendiri karena suatu saat pun akan tiba waktunya bagi si anak untuk tumbuh dewasa dan hidup mandiri.

Kemandirian itu bisa dicapai dengan memberi banyak kesempatan mencoba. Pengalaman gagal sukses, pahit manis itu perlu bagi si anak untuk memperkaya pengetahuannya akan kehidupan.
Kehidupan di Jepang memang menunjang anak-anak untuk bisa pergi sekolah dengan berjalan kaki walaupun kadang jarak tidaklah dekat. Melihat anak-anak sekolah berada di dalam gerbong kereta seorang diri adalah hal yang biasa. Keamanan di jalan dan di sekolah memang terjamin. Biasa di tempat penyeberangan jalan pun ada orang tua murid yang bertugas untuk mengawasi anak-anak.

Memperbincangkan kemandirian anak Jepang sebenarnya sama juga dengan yang diungkapkan Andrie Wongso, motivator no 1 Indonesia. Kaya mental dalam artian tangguh dan mandiri. Jatuh bangun itu biasa. Gagal adalah satu proses menuju kesuksesan. Kemandirian pun juga butuh proses dan kesempatan mencoba secara berkelanjutan.

Salam luar biasa!

Ps: Telah dimuat di Andrie Wongso.com, 13 July 2016
http://www.andriewongso.com/anak-jepang-mandiri-sejak-dini/

Nilai Kejujuran Warung di Jepang

Nilai Kejujuran Warung di Jepang

unmanned store

Ini salah satu budaya yang sudah lama menjamur di Jepang. Mulanya aneh dan heran saja melihatnya. Kalau orang Jawa bilang, " Ojo gumunan". Unik dan mungkin bisa langgeng hanya di Jepang saja. Entah kalau negara lain ada, karena yang saya ketahui secara mendalam hanya di negara yang saya tinggali, Jepang.

Warung tanpa penjual, hanya mengandalkan kejujuran dari pembeli. Biasanya bangunan kayu sederhana, asal cukup untuk memayungi hasil jualan hasil bumi. Kubis, sayur, bawang bombay, daun bawang bahkan bunga. Apa saja dijual, sesuai yang dipunyai pemilik kebun. Paling banyak di temui di daerah pedesaan. Jangan harap di daerah elit Ginza, Tokyo, bisa menemukan warung seperti ini.
Bahkan pernah saya melihat sampai takjub, warungnya sungguh "vulgar". Tanpa apa pun juga. Terbayang kalau hujan bagaimana ini dagangannya..? Maksudnya, warungnya kadang hanya digelar di depan halamannya, tanpa bangunan sama sekali, hanya alas terpal berwarna biru atau hanya dikasih meja dan sebuah celengan. Ada tulisan tangan, silakan bayar sini bila beli barang. Sudah begitu saja!
unmanned store 3
Dahulu karena saking takjubnya, setiap melihat pasti potret sana sini. Nilai kejujuranlah, yang diutamakan di warung kejujuran. Kalau mau nakal juga, tidak ada yang melihatnya. Toh tidak ada CCTV. Silakan mau berbuat curang. Atau mau ambil juga, silakan, kalau tidak tahu malu dan tidak kasihan dengan pemilik kebun. Biasanya pemilik kebun ini sangat bahagia dan bangga dengan hasil kebunnya. Pilihan ada di tangan! Hal yang menyedihkan kalau hanya demi uang 100 yen melakukan hal yang tercela, mengambil barang dagangan tanpa bayar.

Warung kejujuran di Jepang ini mengajarkan banyak hal tentang kehidupan. Pertama, para petani atau pemilik kebun ini bekerja dengan sepenuh hati dan pastinya rajin sehingga bisa mendapatkan hasil panen yang berlimpah. Kalau malas, tak mungkin ada hasil panen yang layak diperjualbelikan. Saya suka mengamati hasilnya. Memang hasil panen masih kalah dengan yang dijual di supermarket tetapi tetap sangat layak dikonsumsi dan harganya murah.

Kedua, kejujuran juga salah satu hal yang penting dalam kehidupan. Warung sederhana ini mengajarkan orang untuk jujur. Kalau mau barangnya, maka bayarlah 100 yen untuk per item. Bukan masalah harga murah atau tidak, tetapi hal terpenting adalah kejujuran kita. Ada atau tidak pemiliknya, tidak jadi masalah. Sejatinya sebagai manusia memang harus saling menghargai dan jujur membayar 'kan?

Bekerja dengan sepenuh hati, rajin, telaten, ulet dan ditambah dengan jujur itulah hal-hal positif yang bisa diajarkan dari sebuah warung kejujuran di Jepang. Sama halnya dengan yang diajarkan Andrie Wongso, motivator no 1 Indonesia. Kaya mental! Sukses hanya bisa diraih oleh orang-orang yang kaya mental. Percayalah! Tak ada kesuksesan yang instan dan tidak jujur. Semua butuh proses!

Dimulai Dari Kita Sendiri

Dimulai Dari Diri Kita Sendiri

_85371269_thinkstockphotos-475032546

Dalam perjalanan pulang ke rumah, saya menyaksikan satu kejadian yang menarik. Di dalam kereta, ada berbagai macam tingkah dan kelakuan orang. Ada yang duduk bersandar, main hp ataupun smartphone, membaca buku, menenangkan balita dan ada juga yang bercakap dengan suara pelan. Saya tak mengenal siapapun di dalam kereta, hanya saja tertarik mengamati hal-hal di sekeliling saya.

Saat kereta memasuki stasiun berikutnya, ada satu penumpang “ khusus” yang ternyata akan masuk ke dalam gerbong. Jumlah penumpang cukup banyak sehingga banyak yang berdiri, termasuk saya. Penumpang “ khusus” ini cukup menarik perhatian saya.

Seorang pria, pertengahan 20 tahun usianya, masih muda. Raut mukanya cukup ceria dan bersahabat. Yang membedakan adalah pria muda ini duduk di kursi roda. Itulah sebabnya saya menyebutnya penumpang “ khusus”.

Saat kereta berhenti, seorang petugas menyiapkan selembar kayu yang diletakkan tepat di antara lantai stasiun dan kereta sehingga kursi roda bisa memasuki gerbong. Jangan heran, ini sudah “ tradisi” dan memang salah satu pelayanan manusiawi dari pihak kereta api di Jepang. Tak lama kemudian pria ini masuk ke dalam gerbong. Ucapan “ arigatou gozaimasu” terimakasih diucapkan oleh pria tersebut. Penumpang lain juga terlihat memaklumi kondisi dan memberikan ruangan cukup untuk pria dan kursi rodanya.

Pembaca, melihat kejadian ini, tiba-tiba saya teringat satu perkataan Pak Andrie Wongso, Motivator no 1. di Indonesia. Seminar Luar biasa “ Arsitek Nasib” oleh Pak Andrie Wongso di Tokyo pada tanggal 17 April 2016 masih terekam dengan baik dalam ingatan saya.
“ Dimulai Dari Diri Kita Sendiri”

Benar sekali perkataan Pak Andrie Wongso. Sejatinya, dimulai dari diri kita sendiri. Begitu juga pria muda ini. Walaupun kondisi tak sama dengan yang lainnya tetapi jelas terlihat bahwa pria muda ini masih punya semangat, dan mampu menerima kondisi dirinya. Pria muda ini ternyata sama tujuannya dengan saya sehingga sepanjang perjalanan saya bisa mengamatinya secara diam-diam.

Dalam perjalanan, tak terlihat ada rasa minder dari pemuda ini. Layaknya orang biasa, pancaran wajahnya terlihat penuh semangat dan sepertinya akan berangkat kuliah. Lihat! Dia pun mampu melakukan hal yang sama dengan orang lain normal lainnya. Kondisi tubuhnya tak menghalanginya untuk meraih kesempatan dan masa depan yang baik.

Lagi-lagi saya menghela nafas. “ Benar juga pak Andrie Wongso”. Memang perkataan orang yang sudah mengalami banyak rintangan hidup sangatlah berbeda dengan orang yang hanya sekadar teori belaka.

“Sikap Mental dan Cara Berpikir Kita Sangat Menentukan KUALITAS NASIB Kita”
Pria ini memilih untuk “ fight” dan mengabaikan kekurangannya yang tak mampu berjalan kaki layaknya orang normal. Mentalnya terlihat cukup kuat dan optimis jelas terpancar dari raut wajahnya. Saya cukup yakin bahwa pria muda ini akan mampu meraih masa depan yang baik karena sikap mental yang kuat terlihat dengan jelas, mulai dari mampu berkomunikasi dengan sekelilingnya dan tidak minder. Pria muda sudah mampu mengatasi kelemahannya dan itu modal kuat baginya untuk menatap masa depan yang gemilang.

Salam luar biasa,
Hani Yamashita - Jepang
(Kontributor)


Ps: Telah di muat di Andrie Wongso.com, 24 April 2016
http://www.andriewongso.com/dimulai-dari-diri-kita-sendiri/

Semangat Berbagi Akan Melipatgandakan Kebahagiaan

Semangat Berbagi Akan Melipatgandakan Kebahagiaan

sharing-is-caring

Sebut saja namanya, Hashimoto-san. Sosok yang menarik dan penuh semangat. Pria berusia lanjut yang energik dan selalu berpikiran positif. Pensiunan karyawan sebuah perusahaan yang cukup ternama di negara Jepang. Kehidupannya cukup materi dan tak kurang sesuatu apapun. Hidupnya terlihat bahagia. 

Hari ini mendadak saya berjumpa dengan beliau di toko tempat saya bekerja. Lebih dari 2 minggu tak melihatnya. Memang beliau biasa suka berkunjung ke toko, kadang membeli sesuatu, borong sana sini sesuka hati. Kadang sekadar mampir, menyapa, dan mengobrol saja. Sosok yang bikin "rame" suasana.

"Sashiburi! Genki desu ka?"  sapaku dengan nada riang. "Lama tak jumpa. Apa kabar?"
Hashimoto-san seperti biasa menjawab, "Genki da yo..." Sehat dan baik.
Usianya memang tak muda lagi, kisaran 70 tahun ke atas. Tetapi yang mengherankan adalah semangatnya yang masih rajin bekerja. Jangan heran, di Jepang memang ada juga manula yang bekerja sesudah pensiun. Ada 2 kemungkinan: memang perlu uang karena uang pensiunan tak cukup, ada juga yang memang tidak bisa "diam" alias tidak mau menganggur tanpa pekerjaan.
Kebetulan Hashimoto-san termasuk tipe ke-2, manusia yang tidak bisa "diam" alias tidak mau menganggur. Menarik cara berpikirnya.

Saya masih ingat dengan jelas kejadiannya. Dua tahun yang lalu, saat toko senggang tanpa pengunjung, saya bertanya, "Kenapa Pak Hashimoto masih bekerja juga, toh sudah masuk masa pensiun dan bukankah lebih baik momong cucu saja?" candaku dengan nada ingin tahu.
"Kalau otak tidak diasah, badan tidak bekerja maka aku akan lebih cepat penyakitan. Sakit-sakitan dan merepotkan keluargaku. Bahkan lebih cepat menghadap 'Kamisama' Tuhan alias meninggal dunia," jawabnya dengan tanpa tedeng aling-aling. Berbicara sambil tersenyum penuh semangat.
Jangan terkejut. Orang Jepang sama dengan orang dari negara lain juga. Kalau sudah akrab, biasa juga tidak banyak basa basi. Omong apa adanya.

"Aku ini sudah tua, pensiunan tapi aku masih bersemangat untuk berbagi dengan sesamaku. Masih bisa digunakan otakku yang tua ini, pengalaman juga bagus. Jadi sayang kalau hanya disimpan di otak dan tidak dibagikan ke generasi berikutnya," lanjutnya.
Mendengar jawaban beliau, saya mangut-mangut tanda mengerti. Jawaban lugas dan penuh pengertian yang mendalam tentang kehidupan. Sesorang yang sudah berpengalaman melalui terjangan kesulitan hidup.

"Dengan berbagi ilmu dan pengalaman sebenarnya sama saja artinya kita menolong diri kita sendiri. Kita akan lebih bisa menikmati hidup ini dengan lebih bahagia. Lihat saja pancaran kebahagiaan dari orang yang kita bantu, itulah yang akan melipatgandakan kebahagiaan yang kita terima," ucapnya tanpa titik koma.

Saat mendengarkan perkataan beliau memang saya hanya tersenyum saja. Memaklumi bahwa memang namanya orang tua pastilah suka memberikan petuah-petuah kehidupan. Hanya itu saja yang teringat karena memang menarik cara berpikirnya, jadi tersimpan di dalam memori.
Tak disangka 2 tahun kemudian saat saya mengikuti Seminar  Luar biasa " Arsitek Nasib" Pak Andrie Wongso pada tanggal 17 April 2016, saya bertemu lagi dengan perkataan yang sama persis diucapkan oleh Hashimoto-san. Luar biasa!

Buku Andrie Wongso yang saya beli saat mengikuti seminar, berjudul "20 Wisdom & Success" pun memuat prinsip yang sama dengan yang diucapkan oleh Hashimoto-san. Kurang lebih intinya sama!
"Dengan mau berbagi, kita sebenarnya sudah menjadi tuan bagi harta kita sendiri. Kita akan lebih bisa menikmati hidup ini dengan lebih bahagia, karena pancaran kebahagiaan dari orang yang kita bantu akan melipatgandakan kebahagiaan yang kita terima."
Luar biasa! Memang orang yang sudah kenyang dengan pengalaman hidup pastinya bisa mengatakan hal tersebut, berbagi dengan sesama. Salut saya untuk Pak Andrie Wongso, Motivator No. 1 Indonesia  dan juga Hashimoto-san. Bravo!

Salam luar biasa,
Hani Yamashita, Jepang 
(kontributor)